Hukum Tuhan Allah

Puncaknya ditutupi asap tebal, makin lama semua mata tertuju ke atas gunung.

makin gelap, merayap serta menyelimuti semua gunung dalam misteri. Kilat menyambar dalam kegelapan, guntur sambung menyambung. “Gunung Sinai ditutupi seluruhnya dengan asap, karena Tuhan turun ke atasnya dalam api; asapnya membubung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar sangat. Bunyi sangkakala kian lama kian keras” (Kel. 19:18, 19). Begitu dahsyat pernyataan kemuliaan hadirat Tuhan sehingga seluruh bangsa Israel gemetar.

Tiba-tiba guntur dan terompet berhenti, keheningan yang mencengkam terasa. Lalu Tuhan berbicara dari tengah-tengah kabut tebal itu, yang mengelilingi-Nya ketika Dia berdiri di atas bukit. Digerakkan oleh kasih yang sangat dalam terhadap umat-Nya, Ia mengumumkan Sepuluh Hukum. Musa pun berkata: “Tuhan datang dari Sinai… dan datang dari tengah-tengah puluhan ribu orang yang kudus; di sebelah kanan-Nya tampak kepada mereka api yang menyala. Sungguh Ia mengasihi umat-Nya; semua orang-Nya yang kudus—di dalam tangan-Mulah mereka, pada kaki-Mulah mereka duduk, menangkap sesuatu dari firman-Mu” (Ul. 33:2, 3).

Waktu Ia menyampaikan hukum di atas Bukit Sinai Allah tidak hanya menyatakan diri-Nya sendiri sebagai penguasa tertinggi dan dahsyat atas semesta alam. Ia juga menggambarkan diri-Nya sebagai penebus umat-Nya (Kel. 20:2). Hal ini dilakukan karena Ia Juruselamat yang telah memanggil bukan saja bangsa Israel tetapi juga semua manusia (Pkh. 12:13) untuk menuruti kesepuluh ajaran yang singkat, luas dan mencakup tanggung jawab umat manusia terhadap Allah dan sesamanya.

Dan Tuhan Allah berkata:

“Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.

“Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku

“Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan, sebab Tuhan akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.

“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: ‘Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu.’”

“Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya.

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu.

“Jangan membunuh.

“Jangan berzinah.

“Jangan mencuri.

“Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.

“Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu” (Kel. 20:3-17).

SIFAT HUKUM ITU

Sebagai pantulan tabiat Allah, Sepuluh Hukum merupakan hukum moral, rohani, luas dan lengkap, mengandung prinsip-prinsip yang universal.

Pantulan Tabiat Pemberi Hukum itu. Kitab Suci memperlihatkan ciri-ciri Allah di dalam hukum-Nya. Sebagaimana Tuhan Allah, “Taurat Tuhan itu sempurna” dan “perintah

Tuhan itu murni” (Mzm. 19:8, 9). “Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik” (Rm. 7:12). “Dan segala perintah-Mu adalah benar. Sejak dahulu aku tahu dari peringatan-peringatan-Mu, bahwa Engkau telah menetapkannya untuk selama-lamanya” (Mzm. 119:151, 152). Sesungguhnya, “segala perintah-Mu benar” (Mzm. 119:172).

Hukum Moral. Sepuluh hukum yang diberikan Tuhan menjelaskan pola tingkah laku Tuhan bagi umat manusia. Hukum itu memberikan penjelasan mengenai hubungan kita dengan Pencipta dan Penebus serta tanggung jawab kita kepada sesama. Kitab Suci mengatakan bahwa pelanggaran atas hukum Tuhan adalah dosa (1 Yoh. 3:4).

Hukum Rohani. “Bahwa hukum Taurat adalah rohani” (Rm. 7:14). Oleh karena itu, hanya orang-orang yang rohani dan yang memiliki buah Roh dapat menurutinya (Yoh. 15:4; Gal. 5:22, 23). Roh Allah yang membuat kita mampu melakukan kehendak-Nya (Kis. 1:8; Mzm. 51:11-13). Dengan tetap tinggal di dalam Kristus, kita menerima kuasa yang kita perlukan agar berbuah demi kemuliaan-Nya (Yoh. 15:5).

Hukum-hukum manusia ditujukan hanya kepada perbuatan-perbuatan yang jelas-jelas nyata. Akan tetapi Sepuluh Hukum “luas sekali” (Mzm. 119:96), menyentuh sampai ke pikiran kita yang paling dalam, menyentuh keinginan-keinginan kita, dan juga perasaan seperti rasa cemburu, iri hati, nafsu dan ambisi. Di dalam Khotbah di Atas Bukit, Yesus menekankan dimensi rohani hukum itu, menyatakan bahwa pelanggaran bermula di dalam hati (Mat. 5:21, 22, 27, 28; Mrk. 7:2123).

Hukum yang Positif. Sepuluh Hukum lebih dari sekadar satu rangkaian larangan; di dalamnya dikandung prinsip yang amat luas jangkauannya. Yang dicakupnya bukan saja hal-hal yang tidak boleh kita lakukan, tetapi juga apa yang seharusnya kita lakukan. Kita tidak boleh hanya menghindari dari perbuatanperbuatan yang jahat dan pikiran-pikiran yang buruk; kita harus belajar menggunakan talenta dan karunia yang telah diberikan Tuhan kepada kita untuk tujuan yang baik. Oleh karena itu, setiap perintah yang negatif mempunyai dimensi yang positif.

Sekadar contoh, misalnya hukum keenam berbunyi “Jangan membunuh,” memiliki sisi positif bahwa “Kau harus meningkatkan hidup.” “Kehendak Allah bagi umat-Nya ialah, para pengikut itu meningkatkan segala segi yang baik dan kebahagiaan setiap orang yang berada di bawah dan lingkungan pengaruh mereka. Di dalam makna yang sangat dalam bahwa perintah injil—kabar baik akan keselamatan dan kehidupan kekal di dalam Kristus Yesus—terletak pada prinsip positif yang terdapat dalam hukum keenam.”1

Hukum yang sepuluh itu janganlah dipandang “sedapat-dapatnya dari sudut larangan, sebagaimana juga dari sudut kemurahan. Larangan-larangan itu justru merupakan jaminan kebahagiaan dalam penurutan. Kalau diterima dalam Kristus, maka ia akan bekerja di dalam diri kita untuk memurnikan tabiat yang mendatangkan kegembiraan kepada kita sepanjang abad kekekalan. Kepada yang menurut hukum, hal itu menjadi tembok pelindung. Di dalamnya akan kita lihat kebaikan Tuhan, yang dengan menyatakan kepada manusia prinsip kebenaran yang tidak berubah-ubah, akan melindungi mereka dari yang jahat karena pelanggaran.”2

Hukum yang Sederhana. Sepuluh Hukum sangat jelas di dalam keluasannya yang sederhana. Hukum-hukum itu memang singkat sehingga seorang anak kecil pun dapat dengan mudah menghafalkannya, namun jangkauannya begitu luas sehingga dicakupnya setiap dosa yang mungkin.

“Tidak ada misteri dalam hukum Allah. Semua dapat memahami kebenaran-kebenaran yang agung yang terdapat di dalamnya. Pikiran yang paling lemah sekalipun dapat menangkap aturan-aturan ini; yang paling tidak berpengetahuan sekalipun dapat mengatur hidup dan membentuk tabiat yang sesuai dengan ukuran Ilahi.”3

Hukum Asas. Sepuluh Hukum adalah ikhtisar semua asas atau prinsip—yang berlaku pada semua manusia dari segala waktu. Alkitab berkata, “Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang” (Pkh. 12:13).

Dekalog—Dasa Firman, atau Sepuluh Hukum (Kel. 34:28) — berisi atau terdiri dari dua bagian, ditunjukkan dengan adanya dua loh batu yang berisi tulisan tangan Allah (Ul. 4:13). Pertama, empat hukum yang pertama mengatur tanggung jawab kita terhadap Pencipta dan Penebus, sedangkan yang terakhir yang terdiri dari enam hukum mengatur tanggung jawab kita terhadap sesama.4

Kedua bagian ini diambil dari dua asas fundamental yang agung dari hal kasih yang merupakan landasan berlangsungnya kerajaan Allah: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Luk. 10:27; bandingkan Ul. 6:4, 5; Im. 19:18). Barangsiapa yang menghayati prinsip-prinsip ini maka ia akan selaras dengan Sepuluh Hukum, karena perintah itu mengungkapkan asas-asas ini dengan rinci sekali.

Hukum yang pertama menyatakan secara langsung perbaktian hanya kepada satu Tuhan saja. Kedua menyatakan supaya jangan menyembah ilah.5 Hukum yang ketiga melarang sikap sembarangan dan bersumpah palsu dengan menggunakan nama Tuhan. Hukum yang keempat mengatakan supaya menyucikan Sabat dan merupakan ciri-ciri Allah yang benar selaku Pencipta langit dan bumi.

Hukum yang kelima mengharuskan anakanak tunduk kepada orang tua mereka sebagai yang diangkat Tuhan untuk meneruskan penyataan kehendak-Nya kepada generasi berikutnya (baca Ul. 4:6-9; 6:1-7). Yang keenam merupakan hukum yang melindungi hidup sebagai kehidupan yang kudus. Yang ketujuh menjaga kesucian dan kemurnian hubungan perkawinan. Yang kedelapan adalah hukum yang melindungi harta milik. Yang kesembilan untuk menjaga agar tetap benar dan membuang dusta. Sedangkan yang kesepuluh ditujukan kepada akar semua hubungan manusia dengan melarang orang menginginkan kepunyaan orang lain.6

Hukum yang Unik. Sepuluh Hukum tentulah merupakan hukum yang unik dan tegas yang diucapkan Tuhan dengan nyaring kepada seluruh bangsa (U1. 5:22).Hukum ini tidak dipercayakan Tuhan kepada pikiran yang mudah lupa, oleh karena itu Tuhan mengukirnya dengan jari-Nya sendiri di atas dua loh batu supaya dapat disimpan di dalam tabut di bait Allah (Kel. 31:18; Ul. 10:2).

Untuk membantu bangsa Israel menerapkan hukum-hukum itu, Allah memberikan hukum tambahan yang lebih rinci kepada mereka yang mengatur hubungan mereka kepada-Nya dan kepada masing-masing mereka. Beberapa dari antara undang-undang tambahan ini berfokus pada undang-undang warga sipil bangsa Israel (hukum sipil), sementara yang lain mengatur upacara-upacara pelayanan di bait Allah (hukum keupacaraan). Tuhan Allah menyampaikan hukumhukum tambahan ini kepada umat dengan perantaraan Musa yang kemudian menuliskannya dalam “buku hukum,” dan menempatkannya di samping “tabut perjanjian” (Ul. 31:25, 26)— tidak di dalam tabut sebagaimana dilakukannya dengan penyataan tertinggi Allah, yakni Sepuluh Hukum itu. Hukum-hukum tambahan ini dikenal sebagai “kitab hukum Musa” (Yos. 8:31; Neh. 8:1; 2 Taw. 25:4) atau dengan “Hukum Musa” (2 Raj. 23:25; 2 Taw. 23:18).7

Hukum yang Menyenangkan. Hukum

Tuhan itu merupakan inspirasi bagi jiwa. Penulis Mazmur berkata, “Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari.” “Itulah sebabnya aku mencintai perintah-perintah-Mu lebih daripada emas, bahkan daripada emas tua.” Walaupun apabila “aku ditimpa kesesakan dan kesusahan,” katanya lebih lanjut, “tetapi perintah-perintah-Mu menjadi kesukaanku” (Mzm. 119:97, 127,143). Kepada barangsiapa yang mengasihi Allah,

“Perintah-perintah-Nya itu tidak berat” (1 Yoh. 5:3). Para pelanggar yang menganggap hukum itu sebagai kuk yang menyusahkan, karena pikiran yang penuh dengan dosa “tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya” (Rm. 8:7).

MAKSUD HUKUM

Allah memberikan hukum-Nya agar umat memperoleh berkat yang berkelimpahan serta membimbing mereka ke dalam hubungan yang menyelamatkan dengan diri-Nya. Cobalah perhatikan dengan saksama tujuan dan maksud yang dirinci secara khusus ini:

Hukum itu Menyatakan Kehendak Allah bagi Manusia. Sebagai ungkapan tabiat dan kasih Allah, Sepuluh Hukum menyatakan kehendak dan maksud Allah bagi manusia. Hukum itu menuntut perlunya penurutan yang sempurna, “sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya” (Yak. 2:10). Penurutan terhadap hukum, sebagai peraturan yang menguasai hidup, sangat penting bagi keselamatan kita. Kristus sendiri berkata, “Jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah” (Mat. 19:17). Penurutan ini hanya mungkin dengan adanya Roh Kudus.

Basis Perjanjian Allah. Musa menuliskan kembali Sepuluh Hukum berikut penjelasanpenjelasan hukum lainnya di dalam buku yang disebut buku perjanjian (Kel. 20:1-24:8).8 Kemudian ia menyebut Sepuluh Hukum “loh-loh batu, loh-loh perjanjian” menunjukkan pentingnya sebagai basis perjanjian kekal (Ul. 9:9; bandingkan 4:13. Tentang perjanjian ini, lihat kembali bab 7).

Fungsinya sebagai Standar Penghakiman. Seperti halnya Tuhan, “segala perintah-Nya benar” (Mzm. 119:172). Oleh karena itu, hukum seperangkat ukuran kebenaran. Masingmasing kita akan ditimbang dan dihakimkan dengan ukuran prinsip kebenaran ini, bukan dengan hati nurani kita. “Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya,” kata Kitab Suci, “… karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” Pkh. 12:13, 14; bandingkan Yak. 2:12).

Hati nurani manusia beraneka-ragam. Ada hati nurani yang “lemah,” sedangkan yang lain “najis” “jahat” atau “tipu daya pendusta” (1 Kor 8:7, 12; Tit. 1:15; Ibr. 10:22; 1 Tim. 4:2). Sama seperti jam, bagaimana pun baiknya, harus “diatur” oleh ukuran yang pas dengannya. Hati nurani kita mengatakan bahwa kita harus melakukan yang baik, akan tetapi hati nurani itu tidak mengatakan kepada kita apa yang baik. Hanya hati nurani yang telah diatur dengan ukuran agung yang ditetapkan Allah–dengan hukum-Nya—dapat menjaga kita menyimpang ke dalam dosa.9

Ditunjukkannya Dosa. Tanpa Sepuluh Hukum umat tidak dapat melihat dengan jelas kesucian Allah, kesalahan mereka, atau perlunya mereka bertobat.

Apabila mereka tidak mengetahui bahwa mereka melanggar hukum Allah, maka mereka tidak akan merasakan bahwa mereka hilang, atau perlunya bagi mereka pendamaian dengan darah Kristus.

Membantu manusia supaya mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya, maka fungsi hukum adalah seperti sebuah cermin (baca Yak. 1:23-25). Barangsiapa yang “memandang” ke dalamnya maka mereka akan melihat cacat tabiat sendiri yang bertentangan dengan tabiat Allah yang benar. Oleh karena itu, hukum moral menunjukkan bahwa seluruh dunia `bersalah di hadapan Allah (Rm. 3:20) karena “sebab dosa ialah pelanggaran hukum” (1 Yoh. 3:4). Sesungguhnya, kata Paulus, “Justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa” (Rm. 7:7). Meyakinkan orang-orang yang berdosa atas dosa mereka, akan membantu mereka sadar bahwa mereka dihukumkan di bawah pengadilan murka Allah dan bahwa mereka menghadapi hukuman mati yang abadi. Itulah yang membuat mereka merasa bahwa mereka sama sekali tidak berdaya.

Alat Pertobatan. Hukum Allah merupakan alat Roh Kudus yang digunakan untuk mendatangkan pertobatan dalam diri kita: “Taurat Tuhan itu sempurna, menyegarkan jiwa”

(Mzm. 19:8). Apabila kita telah melihat tabiat kita yang sebenarnya maka kita menyadari bahwa kita adalah orang berdosa, kita berada di barisan orang yang akan dihukum mati tanpa harapan, sehingga kita merasa perlunya seorang Juruselamat. Dengan demikianlah kabar baik injil itu menjadi benar-benar bermakna. Hukum itu mengarahkan kita kepada Kristus, satusatunya harapan yang dapat membantu kita lepas dari keadaan putus asa.10 Dalam pengertian seperti inilah Paulus merujuk baik kepada hukum moral maupun hukum keupacaraan sebagai “penuntun bagi kita” yang membawa kita kepada Kristus, “supaya kita dibenarkan karena iman” (Gal. 3:24).11

Walaupun hukum itu menyatakan dosa kita, ia tidak dapat dan tidak akan pernah menyelamatkan kita. Seperti halnya air yang membersihkan wajah yang kotor, demikianlah kita, setelah kita menemukan kekurangan kita di dalam cermin hukum moral Allah, mencapai sumber yang terbuka “untuk membasuh dosa dan kecemaran” (Za. 13:1) dan dibasuh dengan “darah Anak Domba” (Why. 7:14). Kita harus memandang kepada Kristus, “dan sebagaimana Kristus dinyatakan… (kepada kita) di atas kayu salib Golgota, mati di bawah himpitan beban dosa seluruh dunia, Roh Kudus menunjukkan… (kepada kita) sikap Allah terhadap semua orang yang bertobat dari dosa pelanggaran mereka.”12 Maka, pengharapan mengisi jiwa kita, dan di dalam iman kita sampai kepada Juruselamat kita, yang mengulurkan kepada kita karunia hidup kekal (Yoh. 3:16).

Disediakannya Kebebasan yang Sejati. Kristus berkata bahwa “setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa” (Yoh. 8:34). Apabila kita melanggar hukum Allah, maka kita kehilangan kebebasan; akan tetapi kalau menurut Hukum yang Sepuluh, diberikan kepada kita jaminan yang sejati. Hidup yang selaras dengan hukum Allah berarti kebebasan dari dosa. Itu berarti kebebasan dari hal-hal yang biasanya mengikuti dosa—kecemasan yang berkelanjutan, luka hati nurani, rasa bersalah yang bertumbuh dan penyesalan yang melemahkan daya hidup yang vital. Pemazmur berkata, “Aku hendak hidup dalam kelegaan, sebab aku mencari titah-titahMu” (Mzm. 119:45). Yakobus menyebut Dekalog itu “hukum utama,” “hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang” (Yak. 2:8; 1:25).

Agar kita dapat menerima kemerdekaan ini, Yesus mengundang kita supaya datang kepada-Nya dengan beban dosa kita. Ia memberikan kepada kita kuk-Nya yang ringan (Mat. 11:29, 30). Sebuah kuk adalah alat untuk melayani. Dengan membagi beban, tugas yang dibebankan akan lebih ringan. Kristus membagi kuk dengan kita. Kuk itulah hukum; “hukum kasih yang agung dinyatakan di taman Eden, diumumkan di bukit Sinai, dan di dalam perjanjian baru dituliskan dalam hati, itulah yang mengikat pekerja manusia ke dalam kehendak Allah.”13 Apabila kita sepenanggungan kuk dengan Kristus, Ia menanggung beban yang berat dan menjadikan penurutan itu sebagai sesuatu kesukaan. Ia menyanggupkan kita hingga berhasil melakukan apa yang tadinya tidak mungkin. Oleh karena itu, hukum yang tertulis dalam batin kita, menjadi sebuah kegembiraan dan kesukaan. Kita merdeka karena kita ingin melakukan sebagaimana yang diperintahkan-Nya.

Jika hukum itu diberikan tanpa kuasa Kristus, maka tidak ada kemerdekaan dari dosa. Akan tetapi anugerah Allah yang menyelamatkan, yang tidak membatalkan hukum itu, membawa kuasa yang membebaskan dari dosa, karena “di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan” (2 Kor. 3:17).

Mengekang Kejahatan dan Mendatangkan Berkat. Pertambahan kejahatan, kekerasan, kebejatan moral dan kekejian yang merajalela di dunia adalah akibat melalaikan Sepuluh Firman. Di mana hukum diterima dengan baik, dosa dikekang dan dirintangi, di situlah perbuatan yang benar dianjurkan, dan menjadi sarana menegakkan kebenaran. Bangsa-bangsa yang menerapkan asas-asas itu ke dalam hukum-hukum mereka akan memperoleh berkat besar. Sebaliknya, apabila tidak menghiraukan asas-asas ini maka kemunduran yang terus-menerus akan terjadi.

Pada zaman Perjanjian Lama Allah sering memberkati bangsa-bangsa dan individu selaras dengan penurutan mereka terhadap hukum-Nya. “Kebenaran meninggikan derajat bangsa,” kata Kitab Suci, dan sebuah “takhta menjadi kokoh oleh kebenaran” (Ams. 14:34; 16:12). Barangsiapa yang menolak menuruti perintah-perintah Tuhan akan menghadapi ancaman malapetaka (Mzm. 89:31, 32). “Kutuk Tuhan ada di dalam rumah orang fasik, tetapi tempat kediaman orang benar diberkati-Nya” (Ams. 3:33; bandingkan Im. 26; Ul. 28). Prinsip umum yang lama tetap berlaku sampai hari ini.14

KEKEKALAN HUKUM ITU

Karena hukum moral yang sepuluh itu merupakan refleksi tabiat Allah, maka prinsip-prinsip itu tidaklah bersifat sementara atau menurut situasi, melainkan mutlak, tidak dapat berubah, dan sahih secara permanen bagi manusia. Orang-orang Kristen dari zaman ke zaman mengukuhkan keteguhan dan kekekalan hukum Allah, dengan kokoh membenarkan keabsahannya secara terus-menerus.15

Hukum sebelum Sinai. Hukum Tuhan sudah ada jauh sebelum diberikan-Nya Sepuluh Hukum kepada bangsa Israel. Sebab kalau tidak demikian, maka sebelum Sinai tidak ada dosa, “sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah” (1 Yoh. 3:4). Fakta bahwa Lusifer dan malaikat-malaikatnya dinyatakan berdosa menjadi bukti bahwa hukum sudah ada jauh sebelum Penciptaan (2 Ptr. 2:4).

Tatkala Allah menjadikan Adam dan Hawa di dalam gambar-Nya, Ia menanamkan asas-asas moral dari hukum itu di dalam benak mereka, secara alamiah diberikan kepada mereka agar mereka dapat melakukan kehendak-Nya. Pelanggaran yang dilakukan mereka membuat dosa dikenal keturunan umat manusia (Rm. 5:12).

Kemudian Allah mengatakan tentang Abraham bahwa ia “telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku” (Kej. 26:4, 5). Dan Musa mengajarkan peraturan-peraturan Tuhan dan hukum-Nya sebelum Sinai (Kel. 16; 18:16). Studi mengenai buku Kejadian menunjukkan bahwa Sepuluh Hukum telah dikenal baik sebelum Sinai. Buku itu menyatakan dengan jelas bahwa umat mengetahui bawa sebelum Allah memberikan Sepuluh Firman (Dekalog) itu, perbuatan-perbuatan yang dilarang itu salah.16 Pengertian yang telah diterima secara umum ini, yakni hukum moral, menunjukkan bahwa Allah harus menyediakan bagi manusia pengetahuan mengenai Sepuluh hukum.

Hukum di Sinai. Selama masa perhambaan yang cukup lama di Mesir, sebuah bangsa yang tidak mengakui Allah yang benar (Kel. 5:2), orang-orang Israel hidup di tengah-tengah penyembah berhala dan kebejatan. Akibatnya, mereka lupa dan kehilangan pengertian yang mendalam atas kesucian, kemurnian dan prinsip-prinsip moral yang diberikan dan dimiliki Allah. Status mereka sebagai hamba mempersulit mereka untuk menyembah dan berbakti kepada Tuhan.

Menjawab seruan permintaan mereka yang amat sangat, Allah mengingat perjanjianNya kepada Abraham dan bertekad melepaskan umat-Nya keluar dari “dapur peleburan” (Ul. 4:20) dengan membawa mereka ke sebuah negeri “agar supaya mereka tetap mengikuti ketetapan-Nya, dan memegang segala pengajaran-Nya” (Mzm. 105:43-45).

Setelah mereka dilepaskan, lalu Ia menuntun mereka ke Gunung Sinai untuk memberikan kepada mereka hukum moral yang menjadi ukuran pemerintahan-Nya dan hukum-hukum keupacaraan yang mengajarkan kepada mereka jalan keselamatan adalah melalui pengorbanan pendamaian Juruselamat. Di Sinai, kemudian Tuhan memberikan hukum secara langsung, dalam bentuk yang sederhana dan jelas, dengan istilah yang mudah, “oleh karena pelanggaran-pelanggaran” (Gal. 3:19), “supaya oleh perintah itu dosa lebih nyata lagi keadaannya sebagai dosa” (Rm. 7:13). Hanyalah dengan membuat hukum Allah lebih terfokus maka mereka, bangsa Israel, akan menyadari pelanggaran mereka lebih tajam, sehingga mengetahui keberadaan mereka yang tanpa daya, dan mereka nengetahui betapa perlunya keselamatan.

Hukum sebelum Kedatangan Kristus Kedua Kali. Alkitab menunjukkan bahwa hukum Tuhan menjadi sasaran serangan Setan dan perang yang dilancarkannya terhadap hukum-hukum itu mencapai klimaks persis mendahului kedatangan Kristus yang kedua kali. Nubuat menunjukkan bahwa Setan akan memimpin sejumlah besar manusia untuk mengingkari Allah (Why. 12:9). Dengan bekerja sama dengan kuasa “binatang” itu, ia akan mengarahkan perhatian dunia terhadap binatang itu, bukan kepada Allah (Why. 13:3; untuk .memperoleh keterangan lebih lanjut mengenai nubuat ini, silakan baca kembali bab 12).

  1. Hukum di bawah serangan. Daniel 7 menggambarkan kuasa yang sama dengan menyebut tanduk kecil. Bab ini mengutarakan empat binatang besar, yang mana, bahkan sejak masa Kristus, para penafsir Alkitab telah mengidentifikasinya sebagai kuasa-kuasa dunia yang besar: Babilon, Medo-Persia, Gerika dan Roma. Sepuluh tanduk dari empat binatang besar itu menggambarkan pembagian Kerajaan Roma setelah kejatuhannya (476 TM).17

Khayal Daniel berpusat pada tanduk kecil, sebuah kuasa menghujat yang mengerikan yang bangkit di tengah-tengah sepuluh tanduk, menyatakan timbulnya sebuah kuasa dahsyat sesudah terpecah-pecahnya Kerajaan Roma. Kuasa ini akan mencoba mengubah hukum Allah (Dan. 7:25) dan akan terus berlangsung sampai kedatangan Kristus kembali (lihat bab 19). Serangan ini sendiri membuktikan makna yang terus-menerus hukum itu di dalam rencana keselamatan. Khayal berakhir dengan menjamin kembali umat Allah, bahwa kuasa ini tidak akan berhasil melenyapkan hukum itu, karena penghakiman akan membinasakan tanduk kecil itu (Dan. 7:11; 26-28).

  1. Orang-orang Saleh mempertahankan hukum itu. Penurutan menjadi ciri-ciri orang saleh yang menanti Kedatangan Kristus yang kedua kali. Dalam konflik terakhir mereka berlomba meninggikan hukum Allah. Kitab Suci melukiskan mereka sebagai berikut: Mereka “yang menuruti perintah Allah dan memiliki iman kepada kesaksian Yesus” (Why. 12:17; 14:12) dan yang dengan sabar menanti kedatangan Kristus kembali.

Dalam persiapan menanti Kedatangan Kristus kedua kali, umat ini mengumumkan Injil, memanggil orang lain supaya menyembah Tuhan sebagai Pencipta (Why. 14:6, 7). Barangsiapa yang menyembah Allah di dalam kasih akan menuruti-Nya; sebagaimana yang dikatakan Yohanes: “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya tidak berat” (1 Yoh. 5:3).

  1. Pengadilan Tuhan dan hukum.Pengadilan yang dilakukan Tuhan dengan mendatangkan ketujuh malapetaka atas orang yang tidak menuruti hukum itu bermula dari kaabah “Bait Suci”—kemah kesaksian di surga (Why. 15:5). Bangsa Israel telah kenal betul ungkapan Bait Suci—kemah kesaksian; yang dimaksudkannya ialah kemah yang dibangun oleh Musa (Bil. 1:50, 53; 17:8; 18:2). Disebut demikian karena kemah suci itu memuat “kesaksian” (Kel. 26:34), yang berisi “kedua loh hukum” (Kel. 31:18). Oleh karena itu, Sepuluh Hukum adalah “kesaksian”—saksi bagi manusia dari hal kehendak Allah (Kel. 34:28, 29).

Akan tetapi Wahyu 15:5 menunjuk kepada “Bait Suci—kemah kesaksian di surga. “Bait suci yang dibuat Musa hanyalah sebuah contoh bait suci yang di surga (Kel. 25:8, 40; bandingkan Ibr. 8:1-5); aslinya yang besar— sepuluh hukum itu—disimpan di sana. Penghakiman terakhir sangat erat kaitannya dengan pelanggaran terhadap hukum Allah menjadi bukti tambahan betapa abadinya Sepuluh Hukum itu.

Buku Wahyu juga menggambarkan pembukaan  bait suci surga, yang menampakkan pemandangan atas “tabut perjanjian-Nya” (Why. 11:19). Frasa tabut perjanjian menunjuk kepada tabut pada bait suci dunia; yang berisi loh batu yang di dalamnya tertulis “firman perjanjian” yakni Sepuluh Hukum” (Kel. 34:27; bandingkan Bil. 10:33; U1. 9:9). Tabut perjanjian itu, yang terdapat di dalam bait suci surga adalah tabut yang asli yang berisi perkataan perjanjian kekal––Sepuluh firman yang asli. Maka jelaslah bahwa waktu penghakiman terakhir yang dilakukan Allah atas dunia ini (Why. 11:18),  berhubungan dengan pembukaan bait suci surga dengan berfokuskan pada tabut dengan Sepuluh Hukum— sesungguhnya, merupakan sebuah gambaran yang pantas dari besarnya hukum Allah sebagai ukuran penghakiman.

HUKUM DAN INJIL

Keselamatan adalah karunia yang datang karena anugerah melalui iman, bukan karya dari hukum itu (Ef. 2:8). “Bukan karena perbuatan yang baik karena melakukan hukum, bukan dengan usaha yang bagaimana pun yang dipujikan, bukan pula karena perbuatan yang baik—apakah banyak atau sedikit, pengorbanan atau tidak,—dengan cara bagaimana pun dapat membenarkan orang berdosa (Tit. 3:5; Rm. 3:20).”18

Di dalam Kitab Suci terdapatlah keselarasan yang sempurna antara hukum dan

Injil, satu dengan yang lain saling meninggikan.

Hukum dan Injil sebelum Sinai. Apabila Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, maka tahulah mereka apa artinya bersalah, takut, dan kekurangan (Kej. 3:10). Allah menyambut dan menjawab atas kekurangan mereka bukan dengan menghapuskan hukum yang menghakimkan mereka; melainkan dengan memberikan kepada mereka Injil yang dapat memulihkan mereka kembali ke dalam persekutuan dan penurutan kepada-Nya.

Injil ini berisi janji penebusan melalui Juruselamat, benih perempuan itu, yang pada suatu ketika kelak akan datang dan menang atas yang jahat (Kej. 3:15). Sistem persembahan yang diberikan Tuhan untuk mengajarkan kepada mereka pentingnya kebenaran mengenai pendamaian: bahwa pengampunan dapat diperoleh hanya melalui penumpahan darah—melalui kematian Juruselamat. Dengan mempercayai bahwa korban binatang yang dipersembahkan itu merupakan lambang kematian yang mendatangkan pendamaian dari Kristus demi mereka, maka mereka memperoleh pengampunan dari dosa.19 Mereka diselamatkan oleh anugerah.

Janji Injil ini adalah pusat perjanjian Allah yangkekal dari hal anugerah yang diberikan kepada manusia (Kej. 12:1-3; 15:4, 5; 17:1-9). Hal ini sangat erat kaitannya dengan penurutan kepada hukum Allah (Kej. 18:18, 19; 26:4, 5). Kepastian janji Allah itu adalah Anak Allah, yang satu-satunya menjadi inti Injil, yakni “sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih” (Why. 13:8). Anugerah Allah, segera berlangsung begitu Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Daud berkata, ”Tetapi kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, …bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya” (Mzm. 103:17, 18).

Hukum dan Injil di Sinai. Ada hubungan yang erat antara Sepuluh Firman dengan Injil. Pendahuluan hukum itu, misalnya, menunjuk kepada Allah sebagai Penebus (Kel. 20:1).

Dan setelah proklamasi Sepuluh Hukum, Allah menyuruh orang-orang Israel mendirikan mezbah dan mulai mempersembahkan persembahan yang mengungkapkan anugerahNya yang menyelamatkan.

Di Bukit Sinai Allah memberikan sebagian besar hukum keupacaraan yang berhubungan dengan pembangunan kaabah, yang menjadi tempat kediaman Allah bersama umat-Nya dan tempat berjumpa dengan mereka untuk membagikan berkat-berkat-Nya serta mengampuni dosa-dosa mereka (Kel. 24:9-31:18). Perluasan sistem persembahan yang sederhana ini telah ada sebelum Sinai, membayangkan karya pengantaraan Kristus bagi penebusan orang-orang yang berdosa dan pengesahan kuasa dan kesucian hukum Allah.

Tempat kediaman Allah adalah di Bilik Yang Mahasuci yang terdapat di dunia, di tempat kemurahan di tabut tempat beradanya Sepuluh Hukum. Setiap aspek pelayanan bait suci melambangkan Juruselamat. Korban sembelihan menunjukkan kematian-Nya yang mengadakan pengantaraan, yang akan menebus umat manusia dari hukuman yang didatangkan oleh hukum itu (baca bab 4 dan 9).

Sementara Dekalog atau Sepuluh Firman itu ditempatkan di dalam tabut, hukum-hukum keupacaraan, bersama-sama dengan peraturan-peraturan sipil yang diberikan Tuhan telah dituliskan di dalam “Buku Hukum” dan ditempatkan di samping tabut perjanjian sebagai “saksi di situ terhadap engkau” (Ul. 31:26). Apabila mereka berdosa, maka “saksi” ini akan menghakimkan perbuatan mereka serta menyediakan syarat yang terinci dan panjang lebar mengenai pendamaian dengan Allah. Mulai dari Sinai sampai kepada kematian Kristus, para pelanggar Sepuluh Hukum dapat memperoleh pengharapan, pengampunan dan penyucian dengan iman dalam Injil yang digambarkan oleh pelayanan bait suci dari hukum keupacaraan itu.

Hukum dan Injil Sesudah Salib. Sesuai dengan pengamatan sebagian besar orang Kristen, Alkitab menunjukkan bahwa sementara kematian Kristus menghapuskan hukum keupacaraan, maka dikukuhkan  seterusnya keabsahan hukum moral.20 Simaklah bukti berikut ini:

  1. Hukum keupacaraan. Apabila Kristus mati, Ia menggenapi lambang nubuat sistem korban-korban persembahan. Lambang dengan yang dilambangkannya bertemu, sehingga berakhirlah hukum keupacaraan itu. Berabad-abad sebelumnya Daniel telah meramalkan bahwa kematian Mesias akan “menghentikan korban sembelihan dan korban santapan” (Dan. 9:27; baca juga bab 4). Waktu Yesus mati, tirai di bait suci secara ajaib tercarik dua dari atas ke bawah (Mat. 27:51), menunjukkan berakhirnya makna rohani pelayanan di bait suci.

Walaupun hukum keupacaraan memenuhi peran penting sebelum kematian Kristus, dalam banyak hal hukum ini tidaklah sempurna, karena sebagai “bayangan saja dari keselamatan yang akan datang” (Ibr. 10:1). Yang diperankannya ialah tujuan yang bersifat sementara dan membebani umat Allah sampai tibanya “waktu pembaharuan” (Ibr. 9:10; bandingkan Gal. 3:19)—sampai tiba waktunya Kristus mati sebagai Domba Allah yang sejati.

Pada waktu kematian Kristus batas hukum keupacaraan berakhir. Korban pendamaian yang dilakukan-Nya cukup mengampuni dosa-dosa semua orang. Tindakan ini “menghapuskan surat utang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib” (Kol. 2:14; bandingkan Ul. 31:26). Oleh karena itu, tidak perlu lagi mengadakan upacara yang telah dihapuskan, karena hal itu tidak dapat menghapus dosa atau menyucikan hati nurani (Ibr. 10:4; 9:9, 14). Tidak perlu lagi dicemaskan hukum-hukum keupacaraan, berikut syarat-syarat yang rumit mengenai persembahan makanan dan minuman, perayaan-perayaan atas pelbagai festival (Paskah, Pentakosta, dsb.), bulan baru, atau sabat-sabat keupacaraan (Kol. 2:16; bandingkan Ibr. 9:10), yang hanya merupakan “bayangan dari apa yang harus datang” (Kol. 2:17).21

Dengan kematian Yesus, orang-orang percaya tidak perlu lagi berhubungan dengan bayang-bayang—refleksi realitas Kristus. Secara langsung sekarang mereka dapat menghampiri Juruselamat sendiri, “sedang wujudnya ialah Kristus” (Kol. 2:17).

Karena penafsiran orang-orang Yahudi, maka hukum keupacaraan itu telah menjadi sebuah perintang antara mereka dengan bangsa-bangsa lain. Hal itu telah menjadi rintangan besar bagi misi mereka yang sebenarnya dimaksudkan untuk menerangi dunia dengan kemuliaan Tuhan. Kematian Kristus menghapuskan “segala perintah dan ketentuannya,” meruntuhkan “tembok pemisah” antara orang yang bukan Yahudi dan orang Yahudi sehingga menciptakan sebuah keluarga baru, yakni umat percaya, yang diperdamaikan ke dalam “satu tubuh… pada salib itu” (Ef. 2:14-16).

  1. Sepuluh Hukum dengan salib. Sementara kematian Kristus mengakhiri otoritas hukum keupacaraan, justru Sepuluh Hukum itu ditegakkannya. Kristus menanggung kutuk hukum, dengan demikian membebaskan umat percaya dari hukuman. Dengan melakukan demikian, bukan berarti bahwa hukum itu sudah dihapuskan dan memberikan kebebasan kepada kita untuk melanggar asasasas atau prinsipnya. Cukup banyak kesaksian yang diperoleh di dalam kitab Suci mengenai kekalnya hukum itu, menolak pandangan yang disebutkan di atas.

Calvin dengan tegas mengatakan bahwa “kita tidak boleh membayangkan bahwa kedatangan Kristus telah membebaskan kita dari kekuasaan hukum; karena hukum itulah peraturan yang abadi dari pengabdian dan hidup yang suci, dan harus, karena itulah keadilan Allah yang tidak pernah dapat berubah.”22

Paulus melukiskan hubungan antara penurutan dan Injil anugerah yang menyelamatkan. Memanggil orang-orang beriman agar hidup suci, ia menantang mereka agar mereka mempersembahkan diri sendiri “menjadi senjata-senjata kebenaran. Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia” (Rm. 6:13, 14). Oleh karena itu, orang Kristen tidak memelihara hukum untuk memperoleh keselamatan—barangsiapa yang berusaha melakukan pemeliharaan hukum itu untuk memperoleh keselamatan hanyalah akan memperdalam perhambaan dalam dosa. “Selama manusia berada di bawah hukum ia tetap di bawah kuasa dosa, karena hukum tidak dapat menyelamatkan seseorang dari hukuman mau pun dari kuasa dosa. Akan tetapi barangsiapa yang berada di bawah anugerah mene-rima bukan saja kelepasan dari hukuman (Rm. 8:1), tetapi juga kuasa untuk mengalahkan (Rm. 6:4). Dengan demikian, maka dosa tidak lagi berkuasa atas mereka.”23

“Sebab Kristus,” kata Paulus menambahkan, “adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya” (Rm. 10:4).  Lalu, setiap orang yang percaya di dalam Kristus mengakui bahwa Dialah akhir hukum yang menjadi sebuah jalan untuk memperoleh kebenaran. Kita adalah orang-orang yang berdosa, tetapi di dalam Kristus Yesus kita dibenarkan melalui kebenaran-Nya yang dihisabkan.24

Di bawah anugerah itu, bukanlah berarti orang-orang beriman bebas dan “bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia” (Rm. 6:1). Sebaliknya, anugerah menambah kuasa yang membuat penurutan dan kemenangan atas dosa itu mungkin diperoleh. ”Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus” (dalam bahasa Indonesia terjemahan baru) “yang tidak menuruti keinginan daging melainkan menurut Roh” (terjemahan dalam bahasa Inggris (Rm. 8:1).

Kematian Kristus memuliakan dan membesarkan hukum, meninggikan otoritasnya yang bersifat universal. Jika Sepuluh Hukum (Dekalog) dapat diubah, maka Kristus tidak perlu mati. Akan tetapi karena hukum ini mutlak dan tidak dapat diubah, kematian menjadi syarat pembayarannya. Dengan matinya Kristus di kayu palang, persyaratan ini dipenuhi, memungkinkan kehidupan kekal dapat diperoleh semua orang yang menerima pengorbanan-Nya yang amat mulia itu.

PENURUTAN KEPADA HUKUM

Tiada orang yang dapat memperoleh keselamatan dengan usahanya yang baik. Penurutan adalah buah keselamatan di dalam Kristus. Melalui anugerah-Nya yang ajaib, terutama yang dinyatakan di kayu salib, Allah telah membebaskan umat-Nya dari hukuman dan kutuk dosa. Walaupun mereka adalah orang-orang berdosa. Kristus memberikan hidup-Nya untuk menyediakan bagi mereka pemberian hidup kekal. Kasih karunia Allah yang berkelimpahan timbul di dalam orang berdosa yang bertobat sebuah sambutan yang menampakkan diri di dalam penurutan yang penuh kasih melalui kasih anugerah yang dilimpahkan dengan berkelimpahan. Orang-orang percaya yang mengerti bahwa Kristus menghargai hukum dan orang yang mengerti bahwa Kristus menghargai hukum dan orang yang mengerti berkat-berkat penurutan akan digerakkan dengan tangguh untuk menghayati hidup seperti hidup yang dihayati Kristus.

Kristus dan Hukum. Kristus sangatmenghargai Sepuluh Hukum. Sebagaimana Yang Agung “AKU ADALAH AKU,” Ia sendiri mengumumkan hukum moral Bapa dari Sinai (Yoh. 8:58; Kel. 3:14; baca juga bab 4). Sebagian dari tugas-Nya di dunia ini adalah “untuk memberi pengajaran-Nya yang besar dan mulia” (Yes. 42:21). Sebuah ayat dari Mazmur yang menyatakan bahwa Perjanjian Baru dikenakan kepada Kristus membuat jelas sikap-Nya terhadap hukum: “Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku” (Mzm. 40:8; bandingkan Ibr. 10:5,7).

Injil-Nya menghasilkan sebuah iman yang senantiasa mengukuhkan keabsahan Sepuluh Firman (Dekalog). Kata Paulus, “Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya” (Rm. 3:31).

Oleh karena itu, Kristus datang bukan hanya untuk menebus manusia tetapi juga mempertahankan otoritas dan kesucian hukum Allah, menampilkan kebesaran dan kemuliaan di hadapan orang banyak serta memberikan kepada mereka teladan bagaimana berhubungan dengannya. Sebagai pengikut-pengikut-Nya, orang-orang Kristen dipanggil untuk memuliakan hukum Tuhan selama hidup mereka. Kristus menghayati suatu kehidupan penurutan dengan kasih diri-Nya Sendiri, Ia menekankan bahwa para pengikut-Nya harus menjadi pemelihara hukum. Apabila ditanyakan mengenai syarat-syarat untuk memperoleh hidup kekal, Ia menjawab, “Jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah” (Mat. 19:17). Ia juga mengamarkan pelanggaran terhadap asas ini, “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” Para pelanggar hukum akan ditolak masuk ke dalamnya (Mat. 7:21-23).

Kristus Sendiri menggenapi hukum, bukan dengan membinasakannya tetapi melalui hidup yang penuh dengan penurutan. “Sesungguhnya,” kata-Nya, “selama belum lenyap langit dan bumi ini, suatu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat. 5:18). Dengan tegas Kristus menekankan bahwa tujuan mulia hukum Allah itu haruslah senantiasa disimpan di dalam pikiran: mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, jiwa raga dan pikiranmu dan sesamamu seperti dirimu sendiri (Mat. 22:37, 38). Bagaimanapun, Ia ingin agar para pengikut-Nya jangan mengasihi sesamanya sebagaimana menurut kasih yang ditafsirkan dunia ini— yang mementingkan diri atau sentimental saja. Untuk menjelaskan kasih yang dibicarakanNya, Kristus memberikan “hukum yang baru” (Yoh. 13:34). Hukum yang baru  ini bukanlah mengambil tempat Sepuluh Firman, melainkan menyediakan bagi umat percaya dengan “sebuah teladan apa sebenarnya kasih sejati yang tidak mementingkan diri sendiri itu, kasih yang belum pernah disaksikan di atas dunia ini. Dengan demikianlah perintahNya ini dapat dilukiskan sebagai sebuah perintah baru. Yang memerintahkan mereka bukan hanya sekadar “supaya kamu saling mengasihi,” tetapi “supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh. 15:12). Jelasnya, kita berada di sini juga satu lagi bukti bagaimana Kristus menghormati hukum-hukum Bapa-Nya.25

Penurutan menyatakan cinta yang demikian. Yesus berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yoh. 14:15). “Jikalau kamu menuruti, perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya” (Yoh. 15:10). Sama halnya, jika kita mengasihi umat Allah maka kita pun mengasihi Allah dan “menuruti perintah-perintah-Nya” (1 Yoh. 2:3).

Hanyalah dengan tinggal di dalam Kristus kita dapat membuat hati yang penurut. “Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur,” kata-Nya, “demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku …. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:4, 5). Agar dapat tinggal di dalam Kristus kita harus disalibkan denganNya dan mengalami seperti apa yang ditulis Paulus: “Tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20). Bagi orang yang sudah berada dalam kondisi seperti ini Kristus dapat menggenapi Perjanjian Baru-Nya: ”Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Ibr. 8:10).

Referensi:

Berkat-berkat Penurutan. Penurutan mengembangkan tabiat Kristen dan menghasilkan suatu perasaan yang baik, menjadikan umat percaya bertumbuh sebagai “bayi yang baru lahir” dan akan diubah menjadi serupa dengan gambar Kristus (baca 1 Ptr. 2:2; 2 Kor. 3:18). Perubahan dari orang berdosa menjadi anak Allah akan menjadikan saksi yang berhasil baik terhadap kuasa Kristus.

Kitab Suci menyatakan “berbahagialah” semua “orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat Tuhan” (Mzm. 119:1), “yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam” (Mzm. 1:2). Berkat-berkat penurutan itu banyak: (1) kebijaksanaan dan akal budi (Mzm. 119:98, 99); (2) damai (Mzm. 119:165; Yes. 48:18); (3) pembenaran (Ul. 6:25; Yes. 48:18); (4) Kemurnian dan kehidupan moral (Ams. 7:1-5); (5) pengetahuan akan kebenaran (Yoh. 7:17); (6) penjagaan terhadap penyakit; (7) panjang usia (Ams. 3:1, 2; 4:10, 22); (8) jaminan bahwa doa seseorang akan dijawab (1 Yoh. 3:22; bnd Mzm. 66:18).

Dengan mengundang kita supaya menjadi penurut, Allah menjanjikan berkat yang berkelimpahan (Im. 26:3-10; Ul. 28:1-12). Apabila kita menyambut dengan positif, maka kita akan menjadi “harta kesayangan” Tuhan—“menjadi… kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (Kel. 19:5, 6; bandingkan 1 Ptr. 2:5, 9), ditinggikan “di atas segala bangsa di bumi,” “menjadi kepala dan bukan menjadi ekor” (Ul. 28:1, 13).

 

  1. Holbrook, “What God’s Law Means to Me,” Adventist Review, 15 Januari 1987, hlm.
  2. White, Selected Messages, buku 1, hlm. 235.
  3. , hlm. 218.
  4. Bnd PengakuanIman Westminster, 1647 TM, bab XIX, dalam Philip Schaff, The Creeds of Christendom,jilid 3, hlm. 640-644.
  5. Lihat Taylor Bunch, The Ten Commandments (Washington, D.C.: Review and Herald, 1944), hlm. 35, 36.
  6. ‘Ten Commandments,” SDA Bible Dictionary, edisi revisi, hlm. 1106.
  7. Hukum Musa dapat juga dirujuk kepada satu bagian Perjanjian Lama yang disebut Pentateukh—lima buku pertama dari Alkitab (Luk. 24:44; Kis. 28:23).
  8. Yang termasuk juga di dalam perjanjian itulah beberapa peraturan keupacaraan dan hukum sipil tertentu. Pengajaran-pengajaran sipil bukanlah sebuah tambahan terhadap Sepuluh Firman (Dekalog) melainkan hanyalah sekadar penerapan yang rinci dari prinsip atau asas itu secara luas. Hukum keupacaraan melambangkan injil dengan menyediakan sarana anugerah bagi orang-orang yang berdosa. Oleh karena itu, Sepuluh Firman itulah yang mendominasi perjanjian itu. Bnd Yer. 7:21-23; Francis D. Nichol,Answers to Objections (Washington, D.C.:Review and Herald, 1952), hlm. 62-68).
  9. Arnold V. Wallenkampt, “Is Conscience a Safe Guide?”Review and Herald, 11 April 1983, hlm. 6.
  10. Sebagian orang menafsirkan pernyataan Paulus bahwa “Kristus adalah kegenapan hukum untuk membenarkansetiap orang yang percaya” dimaksudkan bahwa akhir atau tujuan hukum itu membawa kita kepada sasaran di mana kita dapat melihat betapa berdosanya kita, dan datang kepada Kristus meminta pengampunan, menerimanya melalui iman akankebenaran-Nya. (Penggunaankata “akhir” (Yunani, telos), juga terdapat dalam 1 Tes. 1:5, Yak. 5:11 dan dalam 1 Petr. 1:9). Lihat juga catatan 23.
  11. BndSDA Bible Commentary, edisi revisi, jilid 6, hlm. 961; White, Selected Messages, buku 1, hlm. 233. Hukum keupacaraan adalah sebuah guru yang membawa individu kepada Kristus tetapi dengan sarana yang berbeda. Pelayanan di bait suci dengan segala persembahan pengorbanan menunjukkan kepada orang berdosa keampunan dari dosa bahwa darah Anak Domba yang akan datang itu, Yesus Kristus, akan menyediakannya, dengan demikian membawa kepada mereka pengertian terhadap anugerah injil itu. Hal itu direncanakan untuk menciptakan cinta terhadap hukum Allah sementara persembahan-persembahan korban adalah menjadi gambaran dramatis dari kasih Allah di dalam Kristus.
  12. , hlm. 213.
  13. White, The Desire of Ages, 329.
  14. BndWhite, Education, 173-184.
  15. Pengakuan-pengakuanyang bersifat historis, pengakuan iman yang meninggikan keabsahannya adalah “Katekhismus Waldensia, 1500 TM; Katekhismus kecil Luther, 1529 TM; Katekhismus Anglikan, 1549 TM dan 1662TM; Pengakuan Iman Scottish,1560 TM (Reformed); Katekhismus Heidelberg, 1563 TM (Reformed); KonfensiHelvetic Kedua, 1566 TM (Reformed); Tigapuluh sembilan Artikel Agama, 1571 TM (Gereja Inggeris); Formula Konkord, 1576 TM (Lutheran); Artikel-artikel Iman Irish, 1615 TM (Gereja Episkopal Irish); Konfesi Iman Westminster, 1647 TM; Katekhismus Singkat Westminster, 1647 TM; Konfesi Waldenses, 1655 TM; Deklarasi Savoy, 1658 TM (Congregational); Konfesi Masyarakat Sahabat, 1675 TM (Quakers); Konfesi Philadelphia, 1688 TM (Baptis); Duapuluh lima Artikel Agama, 1784 TM (Metodis);Konferensi New Hampshire, 1833 TM (Baptis); Katekhismus panjang dari Ortodoks, Katolik, Gereja Timur, 1839 TM (Gereja Yunani Rusia), sebagaimaan dikutip dalamThe Creeds of Christendom, “ed. Philip Schaff, revisi oleh David S. Schaff (Grand Rapids: Baker BookHouse, 1983), jilid 1-3.
  16. Rujukan untuk hukum-hukum pertama dan kedua, baca Kej. 35:1-4; keempat, Kej. 2:1-3; kelima, Kej. 18:29; keenam, Kej. 4:8-11; ketujuh, Kej. 39:7-9; 19:1-10; kedelapan, Kej. 44:8; kesembilan, Kej. 12:11-20; 20:1-10; dan kesepuluh, Kejadian 27.
  17. Froom, Prophetic Faith of Our Fathers, jilid 1, hlm. 456, 894; jilid 2, hlm. 528, 784; jilid 3, hlm. 252, 744; jilid 4, hlm. 392, 846.
  18. Questions on Doctrine, 142.
  19. Kain dan Habil mengenal betul sistem persembahan korban (Kej. 4:3-5; Ibr. 11:4). Adam dan Hawa membuat pakaian mereka yang pertama (Kej. 3:21) dari kulit binatang yang dikorbankan (dipersembahkan) untuk mengadakan pendamaian karena dosa-dosa mereka.
  20. Lihat juga misalnya, pengakuan iman yang historis yang berikut: Konfesi Iman Westminster, Artikel-artikelAgama Irish; Deklarasi Savoy, Konfesi Philadelphia, Artikel-artikel Metodis mengenai Agama.
  21. Bnd The SDA Bible Commentary, edisi revisi jilid 6, hlm. 204; White, Patriarchs and Prophets, 365.
  22. Calvin, Commenting on a Harmony of the Evangelists, terjemahan William Pringle (Grand Rapids: Wm B.

Eerdmans, 1949), jilid 1, hlm. 277.

  1. The SDA Bible Commentary, edisi revisi, jilid 6, hlm. 541, 542.
  2. Sebagian lagi para penafsir menafsirkan Kristus sebagai akhir (the end) hukum berarti bahwa Kristus adalah tujuan atau arah yang dituju hukum itu (bnd. Gal. 3:24) atau penggenapan hukum itu (bnd Mat. 5:17). Bagaimana pun, pandangan bahwa Kristus adalah akhir (termination) hukum itu sebagai alat keselamatan (bnd Rm. 6:14) tampaknya lebih cocok dengan konteks Rm. 10:4. “Paulus mengkontraskan cara Tuhan mengenai pembenaran oleh iman dengan usaha manusia dengan pembenaran oleh hukum. Pekabaran yang terdapat dalam Injil itulah Kristus akhir dari hukum itu sebagai suatu jalan pembenaran bagi setiap orang yang memiliki iman” (The SDA Bible Commentary, edisi revisi, jilid 6, hlm. 595). Bnd White, Selected Messages buku 1, 394.
  3. Nichol, Answers to Objections 100, 101.

Tinggalkan komentar